Skip to main content

Sejarah Islam, ‏Kisah ‎7 ‏Hari Sebelum Rasulullah ‎ﷺ ‏Meninggal Dunia ‎|| ‏Auto ‎Nangis

Rasulullah ﷺ Wafat, Seluruh Kaum Muslim Menagis - Salah-satu sejarah yang sangat menyedihkan terutama bagi Umat Islam yaitu wafatya baginda tercinta Nabi Muhammad ﷺ. Lalu bagaimanakah kondisi beliau sebelum meninggal dunia? simak dengan baik-baik dan tunggulah air matamu menetes;-(

  1. Permulaan Rasulullah ﷺ sakit
  2. Kondisi Rasulullah 1 pekan menjelang wafat
  3. Kondisi Rasululah 5 hari menjelang wafat
  4. Kondisi Rasululah 4 hari menjelang wafat
  5. Kondisi Rasululah 2 hari menjelang wafat
  6. Kondisi Rasululah 1 hari menjelang wafat
  7. Kondisi Rasululah pada hari terakhir
  8. Detik-detik Terakhir Rasulullah menjelang wafat
  9. Reaksi Para Sahabat
  10. Reaksi Umar
  11. Reaksi Abu Bakar
  12. Rasulullah Dimandikan
  13. Hikmah Rasulullah Wafat


Sejarah Islam Terbesar, Wafatnya Rasulullah ﷺ

Ramadhan tahun ke-10 Hijriah. Dua puluh hari sudah Rasulullah ﷺ i'tikaf di masjid. Tak biasanya Nabi ﷺ beri'tikaf selama itu. Paling lama beliau berdiam di masjid hanya 10 hari.

Ada apa gerangan? Ketidaklaziman lain terjadi saat untuk kali pertama, Rasulullah ﷺ diuji hafalan al-Qur'an beliau oleh malailkat Jibril sebanyak dua kali. Peristiwa ini membuat para sahabat bertanya-tanya.

Dan mereka pun teringat dengan pesan Rasulullah ﷺ saat Haji Wada'. "Aku tidak tahu pasti, boleh jadi aku tidak akan bertemu kalian lagi setelah tahun ini dengan keadaan seperti ini," kata Rasulullah ﷺ.

Pesan lain juga beliau sampaikan saat melempar Jumrah 'Aqabah. "Pelajarilah manasik kalian dariku, karena boleh jadi aku tidak berhaji lagi sesudah ini."

Pada Haji Wada' itu, saat memasuki Hari Tasyrik, surah an-Nashr diturunkan oleh Allah. Inikah tanda-tanda perpisahan Rasulullah?

Pada awal bulan Shafar tahun ke-11 Hijriah, tanda-tanda itu kembali terlihat. Rasulullah ﷺ pergi ke Uhud untuk shalat atas orang-orang yang mati syahid di Sana layaknya orang yang hendak berpisah.

Lalu beliau menuju mimbar dan berpidato, "Sesungguhnya aku lebih dahulu meninggalkan kalian, aku menjadi saksi atas kalian dan demi Allah, aku benar-benar akan melihat tempat kembaliku saat ini.

Aku telah diberi kunci-kunci gudang dunia atau kunci-kunci dunia, dan demi Allah, aku tidak takut engkau menjadi musyrik sepeninggalku. Namun, aku takut kalian akan bersaing dalam masalah itu." (HR. Muttafaq 'Alaih, HR. Bukhari, bersama Fathul Bari).

Pada suatu malam pertengahan bulan yang sama, Rasulullah ﷺ pergi ke Baqi'. Di sana beliau berdoa meminta ampunan bagi orang-orang yang dikubur. "Salam sejahtera atas kalian, wahai para penghuni kubur.

Apa yang kalian hadapi di sana menjadi ringan, sama seperti yang dihadapi manusia. Fitnah datang seperti sepotong malam yang gelap gulita, yang akhir akan menyusul yang awal. Hari Akhirat lebih jahat pembalasannya daripada di dunia."

Sebuah kalimat terakhir beliau ucapkan, yang kian menguatkan bahwa Rasulullah ﷺ akan segera meninggalkan umatnya. "Sesungguhnya kami akan bersama kalian."

Para sahabat gelisah mendengarnya. Apa sesungguhnya yang akan terjadi pada diri Rasulullah ﷺ? Mungkinkah beliau akan meninggalkan dunia? Akankah beliau wafat? Rasa gelisah terus berkecamuk tak kunjung reda di benak kaum Muslim dan para sahabat.


Permulaan Sakit

Pada hari senin 29 shafar tahun ke-11 Hijriah, Rasulullah ﷺ menghadiri prosesi jenazah di Baqi'.

'Tak ada yang menduga jika Baqi' menjadi tempat terakhir yang dikunjungi Rasulullah ﷺ. Dalam perjalan pulang menuju Madinah, tiba-tiba saja Rasulullah ﷺ merasakan sakit kepala. Suhu tubuhnya langsung melunjak panas jauh melebihi ukuran manusia normal.

Para sahabat dapat melihat jelas urat-urat nadi di kepala beliau yang tampak menonjol, sebagai tanda panas tubuh Rasulullah ﷺ yang begitu tinggi.

Beliau menggigil. Bibirnya bergetar menahan sakit. Para sahabat membawa Rasulullah ﷺ menuju rumahnya. Manusia agung itu lemah tak berdaya. Beliau dibawa ke rumah Maimunah, istri beliau yang saat itu kebetulan mendapat giliran diinapi Nabi ﷺ (al-Fushil fi Sirah ar-Rasul).

Tanda-tanda Rasulullah ﷺ menderita sakit keras semakin tampak pada hari Kamis. Demam menyelimuti badan Nabi ﷺ. Beliau menggeliat di pembaringan karena suhu tubuhnya memuncak, dan peluhnya bercucuran, seraya beberapa kali mulutnya mengucap, La ilaha illa Allah

Ibnu Mas'ud menjenguk Rasulullah ﷺ. Ia tampak iba melihat kondisi Nabi ﷺ,

"Wahai Rasulullah, engkau tampak amat menderita," kata Ibnu Mas'ud.

"Penderitaan yang aku rasakan saat ini dua kali lipar penderitaan yang dirasakan oleh seseorang di antara kalian," jawab Rasulullah ﷺ dengan suara tersekat.

"Itu karena engkau akan memperoleh pahala dua kali lipat," kata Ibnu Mas'ud.

"Benar, setiap orang akan diuji berdasarkan kesungguhannya dalam beragama. Jika dia teguh. ujian itu akan dilipatgandakan," jawab Rasulullah ﷺ.


Pekan Terakhir

Tak ada tanda-tanda Rasulullah ﷺ sembuh. Kian hari, sakit beliau justru bertambah parah. Panasnya tak juga turun sehingga membuat beliau terserang demam sepanjang hari.

Karena suhu tubuh Rasu- lullah ﷺ sangat tinggi, beliau tak lagi ingat di rumah siapa harus menginap.

"Di mana aku menginap besok? Di mana giliranku besok?" tanya Rasulullah ﷺ kepada para istrinya yang setia menemani.

Istri-istri Rasulullah ﷺ mengerti maksud pertanyaan itu, sejenak mereka saling hertatapan. Setelah itu, mereka sepakat untuk memberikan kebebasan kepada Rasulullah ﷺ untuk memilih.

Akhirnya, Rasulullah ﷺ memutuskan untuk menginap di rumah Aisyah. Keputusan itu diterima dengan ridha oleh istri-istri beliau. Bagi mereka, kesembuhan suami tercinta adalah segalanya.

Mereka tak tega melihat Rasulullah ﷺ menderita. Rasulullah ﷺ bangkit dari tidurnya dengan perlahan. Istri-istri beliau berusaha membantunya. Lalu, Rasulullah ﷺ berjalan menuju rumah 'Aisyah dengan dipapah oleh Fadhl bin Abbas dan 'Ali bin Abi Thalib.

Kedua sahabat itu memegangi tubuh Nabi ﷺ agar tak terjatuh. Di kamar 'Aisyah itulah, Rasulullah ﷺ tinggal dalam pekan rerakhir kehidupannya.

Aisyah terus mendampingi suaminya tercinta sambil membacakan Mu'awwidzat yang terdiri atas tiga surah: al-Ikhlash, al-Falaq, dan an-Nas. Ketiga surah tersebut di baca Rasulullah ﷺ saat meruqyah dirinya sendiri.

Aisyah membaca Mu'awwidzat seraya mulutnya meniupkan udara ketuhuh beliau. Dia usap tangan suaminya dengan penuh kelembutan, berharap berkah dan kesembuhan.


Lima Hari Menjelang Wafat

Dua hari sudah Rasulullah ﷺ berada dalam perawatan Aisyah, memasuki hari kelima menjelang beliau wawat, suhu tubuhnya terus meninggi.

Wajah Rasulullah terlihat pucat pasi, tubunhya menggigil. Aisyah dan istri Nabi ﷺ yang lain tak kuasa memandangi wajah suami mereka, kesedihan terlihat jelas di wajah mereka.

Tiba-riba mcreka dikejutkan dengan permintaan beliau.

Ambilkan aku 7 gayung air dari sumur yang berlainan adar aku sanggup keluar menemui orang-orang, karena aku ingini berpesan kepada mereka." pinta Nabi ﷺ kepada para istrinya.

Tanpa menunggu lama, mereka mendudukkan Rasulullah ﷺ di atas tempat mencuci pakaian milik Hafshah binti Umar dengan perlahan.

Setelah posisi Rasulullah ﷺ stabil, meereka segera mengguyurkan air ke tubuh beliau, sedikit demi sedikit dan membasuhnya.

"Cukup, cukup!" ujar Rasulullah ﷺ pelan setelah beberapa guyuran air membasahi sekujur tubuhnya. (as Sirah an-Nabawiyyah).

Rasa segar menyelimuti Rasulullah ﷺ. Nyeri di kepalanya masih terasa walau sedikit berkurang. Beliau segera melangkah ke luar kamar menuju masjid dengan dipapah dua orang sahabat.

Kaum Muslim yang sedang berkumpul di dalam masjid terkejut melihat kedatangan Nabi ﷺ. Mata mereka terus menatap Nabi ﷺ yang baru masuk ke masjid dengan kepala diikat dan langkah kaki agak tertatih.

Beliau terus berjalan melewati kaum Muslim hingga tiba di depan mimbar. Lalu Rasulullah ﷺ duduk di hadapan kaum Muslim yang masih terus menatapnya.

Suasana hening Kaum Muslim menanti apa yang akan diucapkan oleh manusia agung tersebut. Tak berapa lama, sebuah kalimat awal terlontar dari mulat beliau.

"Kutukan Allah atas orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka telah menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid."

Dalam riwayat lain disebutkan, "Allah memerangi orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid." (HR. Bukhari, Muwatha Imam Malik).

"Janganlah kalian menjadikan kuburanku sehagai berhala yang disembah!" Nabi ﷺ melanjuikan. (Muwatha Imam Malik)

Kaum Muslim terus menyimak nasihat Rasulullah ﷺ, tidak berapa lama kemudian, mereka dihiadapkan dengan hal yang sama sekali tak terduga. Rasulullah ﷺ menawarkan dirinya untuk diqishash.

Para sahabat terkejut. Mereka kian tercengang saat Rasulullah ﷺ mempersilahkan punggungnya untuk dipukul.

"Siapa yang punggungnya pernah kupukul, inilah punggungku, silakan membalasnya. Siapa yang kehormatannya pernah kulecehkan, inilah kehormatanku, silakan membalasnya."

Tak ada sahabat yang menjawab. Mereka diam membisu. Membayangkan sosok manusia mulia yang begitu agungnya, saat sakit hebat sedang menimpanya, masih sempat manusia agung itu mempersilakan orang lain untuk membalas perbuatan yang mungkin pernah dilakukannya.

Lalu Rasulullah ﷺ turun dari mimbar untuk mendirikan shalat Zhuhur. Selesai shalat, beliau kembali berbicara di atas mimbar. Beliau mengulangi perkataannya.

Di saat itulah, ada seseorang berkata kepada beliau, "Sesungguhnya engkau mempunyai tanggungan tiga dirham kepadaku."

"Berikan kepadanya, wahai Fadh!" kata Rasulullah ﷺ usai mendengar permintaan orang tersebut.

Tak lama kemudian, beliau nenyampaikan nasihat berkaitan dengan orang-orang Anshar.

"Kuwasiatkan kepada kalian tentang orang-orang Anshar. Mereka adalah keluargaku dan aibku. Mereka telah melaksanakan kewajiban mereka dan apa yang tersisa adalah milik mereka. Maka terimalah yang baik dari mereka dan ampunilah yang jelek dari mereka!"

Dalam sebuah riwayat lain disebutkan, "Sesungguhnya manusia semakin banyak, dan kaum Anshar makin sedikit laksana garam di dalam makanan. Maka siapa di antara kalian yang menjabat kekuasaan dan membahayakan seseorang dan memberikan manfaat kepada mereka, hendaklah dia menerima yang baik dan memberi maaf yang jelek dari mereka." (HR. Bukhari)

Rasulullah ﷺ melanjutkan,

"Sesungguhnya ada sorang hamba yang diberi pilihan oleh Allah antara kemewahan dunia sesukanya, atau memilih apa yang ada di sisi-Nya, dan dia memilih apa yang ada di sisi-Nya."

Mendengar itu, Abu Bakar menangis sambil berkata,

"Demi ayah dan ibu kami sebagai tebusannya."

Para sababat merasa aneh dengan sikap Abu Bakar. Mengapa Abu Bakar bersikap demikian? Itu karena Abu Bakar orang yang paling tahu tentang Rasulullah ﷺ.

Ketika Rasulullah ﷺ menyebut "ada seorang hamba" dalam sabdanya. Abu Bakar tahu bahwa yang dinmaksud "hamba" itu adalah Rasulullah ﷺ sendiri. (HR. Bukhari dan Muslim, dalam AMisykatul Mashabih).

Beberapa saat kemudian, Rasulullah ﷺ meneruskan nasihatnya.

"Sesungguhnya orang yang paling banyak memberikan perlindungan kepadaku dalam persahabatan dan hartanya adalah Abu Bakar.

Andaikata boleh bagiku mengambil seorang kekasih selain Rabbku, pastilah Abu Bakar kujadikan kekasihku. Namun, ini adalah persaudaraan Islam dan kecintaannya. Semua pintu yang menuju ke Masjid al-Haram hendaknya ditutup, kecuali pintu Abu Bakar." (HR. Bukhari).


Empat Hari Menjelang Wafat

Matahari kamis mulai menampakkan dirinya. Hari itu tepat empat hari menjelang Rasulullah ﷺ wafat.

Sakit yang dirasakan Rasulullah ﷺ sedang berada di puncaknya. Tubuhnya menggigil menahan demam, suhu tubuhnya kian memanas, butir-butir keringat menetes deras dari sekujur pori-pori tubuhnya.

Di tengah kondisi yang sangat parah itu, beliau masih memikirkan umatnya. Dengan suara parau, Rasulullah ﷺ memanggil para sahabat.

"Kemarilah kalian, aku akan tulis sebuah tulisan di mana kalian tidak tersesat setelah itu."

Saat itu Umar bin Khaththab sedang berada di rumah Rasulullah ﷺ.

Umar yang tidak tega melihat kondisi Nabi ﷺ, langsung berkata kepada para sahabat.

"Beliau terpengaruh oleh rasa sakitnya. Pada diri kalian telah ada al-Qur'an, karena itu cukuplah Kitab Allah bagi kalian."

Para sahabat tak sependapat. Mereka berselisih pendapat dan berdebat sengit. "Mendekatlah sehingga Rasulullah dapat menulis untuk kalian," kata sebagian sahabat.

Namun, sebagian yang lain setuju dengan apa yang dikatakan oleh Umar, Situasi menjadi tak terkendali. Gaduh dan riuh hingga akhirnya Rasulullah ﷺ berkata.

"Menyingkirlah kalian dariku!" (HR. Bukhari)

Pada hari itu, Rasulullah ﷺ memberi tiga wasiat.

Pertama, untuk mengeluarkan orang-orang Yahudi, Nasrani, dan orang-orang musyrik dari Jazirah Arab.

Kedua, mengirimkan delegasi sebagaimana yang pernah dilakukan.

Ketiga, para perawi lupa.

Ada kemungkinan wasiat ketiga adalah pesan Rasulullah ﷺ untuk berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah, atau memberangkatkan pasukan Usamah, atau wasiat tentang shalat dan budak-budak.

Usai itu, Rasulullah ﷺ berangkat ke masjid untuk mengimami shalat. Langkahnya tertatih-tatih. Beberapa sahabat memapah tubuh beliau.

Rasulullah ﷺ shalat Maghrib bersama sahabat-sahabatnya pada hari itu dengan membaca surah al-Mursalat. (HR. Bukhari dari Ummul Fadhl, Bab "Sakitnya Rasulullah").

Menjelang Isya, sakit beliau semakin parah hingga tidak bisa pergi ke masjid. Nabi ﷺ bertanya kepada para sahabat yang ada di rumahnya.

"Apakah orang-orang sudah shalat?"

"Belum, wahai Rasulullah. Mereka menunggumu."

"Letakkan air di bejana tempat cucian untukku!" pinta Rasulullah ﷺ dengan suara pelan.

Para sahabat lalu melakukan permintaan Rasulullah ﷺ.

Setelah mandi, rasa segar menyelimuti Rasulullah ﷺ. Beliau segera bangkit berdiri. Sesaat tubuhnya tegak, namun hanya berlangsung singkat. Beliau tak mampu menopang tubuhnya. Rasulullah ﷺ terjatuh dan pingsan.

Para sahabat panik dan segera membawa Rasulullah ﷺ ke pembaringannya yang sederhana, hanya beralaskan pelepah daun kurma.

Tak berapa lama, Rasulullah ﷺ sadarkan diri. Beliau mengulangi pertanyaannya.

"Apakah orang-orang sudah shalat?" Nabi ﷺ kembali berusaha berdiri. Namun, usahanya tak berhasil, beliau lagi-lagi terjatuh dan pingsan.

Tiga kali Rasulullah ﷺ pingsan hingga akhirnya beliau mengutus seseorang untuk meminta Abu Bakar menjadi imam shalat.

Abu Bakar pun akhirnya menjadi imam sebanyak 17 kali shalat pada saat Rasulullah ﷺ masih hidup. (HR. Bukhari dan Muslim, Misykatul Mashabih)

Shalat yang diimami Abu Bakar yaitu 'Isya dari hari Kamis dan shalat Subuh sejak hari Senin dan lima shalat setelah itu. (HR. Bukhari dalam Fathul Bari, HR. Muslim, Kitab ash-Shalat, dan Musnad Ahmad)

Aisyah sempat tak setuju dengan penunjukan Abu Bakar sebagai imam. Sebanyak tiga atau empat kali ia menyarankan Rasulullah ﷺ unruk tidak menjadikan Abu Bakar sebagai imam shalat. (HR, Bukhari dalam Farhul Bari, dan HR. Muslim, Kitab ash-Shalat).

Namun, Rasulullah ﷺ tidak menanggapinya. "Sesungguhnya kalian ini sama dengan saudara-saudara Yusuf. Suruhlah Abu Bakar untuk menjadi imam shalat!" (HR. Bukhari).


Dua Hari Menjelang Wafat

Perubahan sedikit dirasakan Rasulullah ﷺ pada Sabtu atau Ahad, Rasa sakitnya agak berkurang. panas tubuhnya menurun.

Azan Bilal berkumandang, memanggil kaum Muslim untuk shalat Zhuhur. "Allahu Akbar.Allhu Akbar.

Rasulullah ﷺ segera bangkit dari tempat tidurnya untuk shalat. Dua orang sahabat segera menghampiri dan memapahnya hingga sampai di masjid.

Saat itu, Abu Bakar akan mengimami shalat. Abu Bakar terkejut melihat kedatangan Rasulullah ﷺ. Ia bersiap mundur, tetapi Rasulullah ﷺ mencegahnya dengan isyarat,

"Dudukkan aku di samping kiri Abu Bakar," kata Nabi ﷺ kepada sahabat yang memapahnya.

Kedua sahabat tadi segera mendudukkan Rasulullah ﷺ di sisi kiri Abu Bakar. Abu Bakar shalat berdiri mengikuti shalat Rasulullah ﷺ dan mengeraskan takbir agar didengar oleh jamaah, sedangkan Rasulullah ﷺ sendiri shalat dalam posisi duduk. (HR. Bukhari dalam Fathul Bari).


Sehari Sebelum Meninggal

Saat-saat wafatya Rasulullah ﷺ kian mendekat. Rasa sakit terus menyerang tubuh beliau hingga tak banyak aktivitas yang dapat dilakukan.

Di hari-hari terakhir menjelang malaikat maut menjemputnya itu, Rasulullah ﷺ membebaskan seluruh pembantu laki-lakinya, dan menyedekahkan tujuh dinar hartanya yang masih tersisa. (Thabaqat Ibnu Sa'ad).

Beliau juga memberikan senjata-senjatanya kepada kaum Muslim.

Pada malam harinya, Äisyah meminta kepada salah satu perempuan untuk menuangkan minyak ke lampu milik Rasulullah ﷺ. (Thabaqat Ibnu Sa'ad).

Sementara itu, sebuah baju besi milik Rasulullah ﷺ digadaikan kepada seorang Yahudi dengan harga 30 sha gandum. (HR. Bukhari).

Dalam bagian akhir Maghazi disebutkan Rasulullah ﷺ meninggal sementara baju besinya sedang digadaikan.

Dalam riwayat Ahmad tidak didapatkan orang yang menebusnya. (Farhul Bari).


Hari Terakhir

Waktu terus bergulir. Rasulullah ﷺ semakin mendekati ujung jalan kehidupan. Hari itu, Senin, kumandang azan Bilal menggema, memecah keheningan Shubuh.

"Allähu Akbar...Allahu Akhar..."

"Allahu Akbar...Allahu Akbar..."

Kaum Muslim bergegas menuju masjid untuk menunaikan shalat Shubuh. Barisan telah tersusun rapi. Abu Bakar maju dan berdiri di depan menjadi imam.

Tanpa sepengetahuan mereka, Rasulullah ﷺ menyingkap tirai kamar Aisyah dan melihat umatnya yang bersiap shalat Shubuh. Kamar Aisyah yang berimpitan dengan masjid membuat Rasulullah ﷺ dengan mudahnya melihat aktivitas kaum Muslim di sana.

Rasulullah ﷺ seketika menyunggingkan senyum menyaksikan pemandangan di hadapannya. Rona bahagia tampak jelas terlihat di wajahnya.

Abu Bakar yang melihat Rasulullah ﷺ langsung mundur ke belakang, hendak masuk ke barisan jamaah. la mengira Rasulullah ﷺ akan ikut shalat bersama mereka, tetapi ternyata tidak.

Anas berkata, Kaum Muslim hendak menghentikan shalat karena demikian gembira melihat Rasulullah ﷺ. Namun, Rasulullah ﷺ memberi isyarat agar mereka menyelesaikan shalat mereka.

Beliau masuk ke bilik dan menutup tirai kamar. (HR. Bukhari dalam Fathul Bari)

Setelah kejadian itu, tak ada lagi waktu shalat yang dialami Rasulullah ﷺ. Ketika waktu Dhuha tiba, Rasulullah ﷺ memanggil Fathimah dan membisikkan sesuatu di telinganya.

Fathimah menangis. Lalu beliau memanggilnya kembali dan membisikkan sesuatu di telinganya. Fathimah tersenyum gembira. Tak ada yang tahu apa sesungguhnya yang terjadi.

Usai itu, Fathimah kembali sedih. la tak tega melihat penderitaan berat yang dialami ayahandanya.

Tangis tak mampu dibendungnya. "Betapa menderitanya engkau. wahai ayahanda"

"Tidak ada penderitaan bagi ayahandamu setelah hari ini." jawab Rasulullah ﷺ: (HR, Bukhari).

Lalu Rasulullah ﷺ memanggil Hasan dan Husain, dua cucunya yang sangat beliau savangi. Hasan dan Husain segera mendekat duduk di tepi pembaringan. Sebuah ciuman penuh kasih sayang dikecupkan sang kakek.

Cukup lama Rasulullah ﷺ mencium kedua Cucunya secara bergantian seraya tangannya mengelus-elus kepala mereka. Hasan dan Husain memeluk erat sang kakek seolah tak ingin berpisah.

Setelah episode mengharukan iu, Rasulullah ﷺ memberikan nasihat dengan suara parau. Hasan dan Husain menganggukkan kepala mereka setiap mendengar kakek mereka memberikan wejangan.

Selain kepada anak dan cucunya, Rasulullah ﷺ tak lupa memberikan nasitiat kepada para istrinya. Seolah tahu akan pergi selamanya, beliau memanggil istri-istrinya yang sedang berada di kamar Aisyah.

Suara panggilannya pelan, seperti tersekat, tetapi terdengar penuh kelembutan Mereka bergerak mendekat, mengelilingi Rasulullah ﷺ yang masih terbaring lemah di tempat tidur. Rasulullah ﷺ menatap istrinya satu per satu.

Tatapan yang dibalas oleh isak tangis oleh para istri beliau, Tak lama kemudian, Rasulullah ﷺ memberikan nasihat kepada istri-istrinya.

Setiap kali kalimat nasihat terucap dari mulut sang suani. mereka menganggukkan kepala diiringi isak tangis yang kian mengeras. Awan duka mulai menyelimuti kamar Aisyah.

Sakit Rasulullah ﷺ semakin berat. Tubuhnya terus menggigil menahan demam yang menyerang hebat. Pengaruh makanan beracun yang disusupkan seorang wanita Yahudi saat Perang Khaibar mulai menjalari tubuhnya, sampai-sampai beliau berkata kepada Aisyah.

"Wahai Aisyah, aku masih merasakan sakitnya karena makanan yang sempat kucicipi di Khaibar. Inilah saatnya bagiku untuk merasakan terputusnya nadiku karena racun tersebut."

Suaranya terdengar kian pelan. Raut duka terlihat dari wajah setiap orang yang hadir. Hening. Semuanya terdiam. Di tengah suasana duka yang kian terasa itulah, Rasulullah ﷺ kembali bersuara.

"Shalat, shalat, dan budak-budak yang kalian miliki." Rasulullah ﷺ mengulangi beberapa kali, meminta umatnya memerhatikan dua hal tersebut, shalat dan budak.


Detik-detik Terakhir

Detik-detik wafatnya Rasulullah ﷺ akhirnya tiba. Sakit Rasulullah ﷺ kian parah. Aisyah menyandarkan tubuh beliau ke pangkuannya. Saat itu datanglah Abdurrahman bin Abu Bakar dengan membawa siwak di tangannya.

Rasulullah ﷺ mengetahui kedatangan Abdurrahman dan melihat siwak yang dibawanya. Aisyah menangkap sorot mata suaminya yang tertuju ke siwak Abdurrahman. Aisyah segera bertanya kepada suaminya yang terkulai lemas di pangkuannya.

"Apakah aku ambilkan untukmu?" Rasulullah ﷺ menganggukkan kepalanya sebagai tanda setuju.

Aisyah langsung meminta siwak itu kepada Abdurrahman dan diberikan kepada Rasulullah ﷺ. Saat hendak digunakan Rasulullah ﷺ, terlihat jelas beliau menahan sakit karena kerasnya siwak itu.

Aisyah bereaksi cepat. "Apakah aku harus lembutkan untukmu?" Rasulullah ﷺ kembali menganggukkan kepalanya, Aisyah pun mengambil siwak itu dan mulai menggosokkannya dengan sangat pelan. Rasulullah ﷺ sendiri mencelupkan kedua tangannya ke dalam air yang ada di dalam bejana di hadapannya.

Setelah itu, beliau mengusapkannya ke wajahnya seraya berucap, "Tidak ada Tuhan selain Allah. Sesungguhnya kematian itu ada sekaratnya." (HR. Bukhari).

Usai bersiwak, Rasulullah ﷺ mengangkat tangannya dan mengarahkan pandangannya ke arah langit-langit. Kedua bibir beliau bergerak-gerak perlahan.

Aisyah yang berada di dekatnya mendengar lamat-lamat apa yang beliau katakan, "Bersama-sama. dengan para nabi, shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Ya Allah, ampunilah dan rahmatilah aku, dan pertemukan aku dengan Kekasih Yang Mahatinggi. Ya Allah Kekasih Yang Maha tinggi!" ujar Rasulullah ﷺ lirih. (HR. Bukhari)

Rasulullah ﷺ mengulang kata terakhir sebanyak tiga kali, lalu tangannya terkulai lemas. Mulutnya tak lagi bergerak. Tubuhnya jatuh ke pangkuan Aisyah.

Tak lagi bernyawa, beliau kembali ke haribaan Sang Mahatinggi. Inna Lillahi wa inna laihi raji'un.

Äisyah tersentak saat tangannya memegang tubuh suaminya tercinta. Napasnya sudah tak lagi berhembus. Matanya tertutup rapat seperti orang tertidur pulas. Bibirnya menyunggingkan senyum. la pegangi seluruh tubuh Rasulullah ﷺ. Sudah tak bergerak. Aisyah tak kuasa menahan tangis menghadapi kenyataan di hadapannya. Di pangkuannya kini terdapat sosok manusia agung yang tak berdaya. Tak lagi bernapas. Tak lagi berdenyut jantungnya. Dan itu adalah jasad suaminya tercinta yang mengasihinya selama ini. Yang tak pernah memarahinya. Yang tak pernah memukulnya. Yang tak pernah mencacinya. Hanya kelembutan yang diberikannya. Hanya tutur kata halus yang terucap dari mulutnya. Hanya senyuman yang tersungging dari kedua bibirnya. Hanya tatapan teduh yang menyejukkan yang terlihat dari sorot matanya. Hanya belaian dan usapan lembut penuh kasih sayang yang diberikan tangannya. Kini semuanya telah berakhir. Lelaki agung pembawa risalah kebenaran itu terbaring di pangkuannya. Aisyah terisak. Dengan sekuat tenaga ia berucap, "Inna Lillahi wa inna llaihi raji'un."

Seisi ruangan serentak mengucap kalimat yang sama. Seketika itu juga, tangis pecah, menyelimuti kamar Aisyah yang sempit. Aisyah meletakkan jasad Rasulullah ﷺ di atas pembaringannya yang hanya berlapiskan pelepah daun kurma.

Peristiwa tersebut terjadi pada saat Dhuha, Senin 12 Rabiul Awal tahun ke-11 Hijriah. Usia Rasulullah ﷺ saat itu adalah 63 tahun lebih empat hari.

Aisyah amat terkesan dengan peristiwa itu. Suatu hari ia berkata, "Sesungguhnya di antara nikmat Allah yang diberikan Allah kepadaku adalah Rasulullah ﷺ meninggal di rumahku, pada hari giliranku, dan di pangkuanku. Ludahku dan ludahnya menyatu saat beliau wafat."

Duka Para Sahabat

Berita duka itu langsung menyebar. Awan duka seketika berarak menyelimuti seluruh pelosok Madinah.

Anas bin Malik menuturkan, "Tidak aku lihat ada hari yang paling bersinar dan lebih baik daripada hari saat Rasulullah masuk Madinah, dan tidak aku lihat hari yang lebih buruk dan gelap daripada saat Rasulullah meninggal." (HR. Darimi, Misykatul Mashabih dan Jami Tirmidzi).

Saat Rasulullah ﷺ meninggal, Fathimah berkata, "Wahai Ayahanda, Allah telah menjawab doamu, surga Firdaus tempat kembalimu. Ayahandaku, kukabarkan kepada Jibril tentang kematianmu." (Ibnu Hisyam)


Sikap 'Umar

Kabar duka itu didengar 'Umar bin Khaththab. Dengan lantang ia berkata, "Sesungguhnya beberapa orang munafik mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah meninggal, Rasulullah ﷺ telah mati. Tidak! Beliau sedang pergi menemui Tuhannya sebagaimana Musa bin IImran. Dia tidak berada di tengah kaumnya selama empat puluh hari, lalu dia kembali kepada kaumnya setelah dikabarkan bahwa dia telah meninggal. Demi Allah! Rasulullah akan kembali dan akan memotong tangan-tangan dan kaki orang-orang yang mengatakan bahwa dirinya telah meninggal." (Ibnu Hisyam)


Reaksi Abu Bakar

Di saat Umar berbicara, terdengar suara derap langkah kuda dari kejauhan. Kian lama semakin mendekat. Di atas punggung kuda tersebut tampak Abu Bakar dengan wajah penuh kecemasan. Debu-debu padang pasir beterbangan menyambut kedatangannya.

Kuda tunggangan Abu Bakar tampak lelah. Napasnya mendengus-dengus tak beraturan. Abu Bakar memang memacu kuda dengan cepat dari dataran tinggi Madinah, tempatnya tinggal. Dia melakukan itu begitu mendengar berita kematian Rasulullah ﷺ.

Di tengah sorotan mata kaum Muslim, termasuk Umar, Abu Bakar turun dari kudanya. Tangannya menggamit tongkat, Dia memasuki rumah Aisyah dengan melewati kerumunan orang. Langkah kakinya cepat. Semua mata tertuju kepadanya. Pintu rumah dia buka. Udara duka seketika mengepung dirinya. Di dalam rumah, dia melihat Aisyah yang menangis. Di sudut kamar, Abu Bakar melihat sesosok tubuh terbaring berselimutkan kain. Degup jantung berdetak cepat. Abu Bakar berusaha sekuat tenaga menahan emosinya. Perlahan, ia mendekati Aisyah, lalu melangkah ke sudut kamar. Suara tangis saling bersahutan, air mata tak terbendung. Abu Bakar berjalan menghampiri jenazah Rasulullah ﷺ yang terbaring di tempat tidur, lalu membuka kain yang menutupi wajah Rasulullah ﷺ dengan perlahan. Wajah itu lebih indah daripada purnama, lebih bersinar daripada mentari, dan lebih harum daripada aroma kesturi. Abu Bakar mendekatkan mukanya dan mencium pipi Rasulullah ﷺ. Air matanya mengalir membasahi kedua pipinya. Ketegaran Abu Bakar sejenak sirna, tergerus rasa duka mendalam. Orang-orang yang menyaksikan terkesima, tak kuasa menahan tangis. Dia berbisik dengan suara yang dalam, nyaris tak terdengar, "Demi ayah dan ibuku, betapa baik hidupmu dan betapa baik pula matimu, wahai Rasulullah."

Abu Bakar melanjutkan bisikannya dengan suara tersekat. "Sungguh, engkau telah merasakan kematian yang telah ditetapkan ajalnya atas dirimu. Namun setelah itu, engkau akan hidup dan tidak akan pernah mati selamanya."

Suara tangis kian mengepung ruang kamar Aisyah. Apa yang dilakukan Abu Bakar membuat suasana semakin mengharu. Namun Abu Bakar berusaha untuk tegar dan tabah. Dia membalikkan badannya dan berjalan keluar menuju masjid. Wajah sedihnya tak bisa disembunyikannya. Kerumunan orang semakin ramai. Umar masih tampak di sana. Abu Bakar segera menghampiri Umar. "Tenanglah, Umar!" Tapi Umar tak menggubrisnya dan terus berbicara dengan emosional. Lalu Abu Bakar mulai berbicara kepada orang yang mengerumuninya "Wahai manusia, siapa yang menyembah Muhammad, maka sungguh Muhammad telah mati. Siapa yang menyembah Allah, maka sungguh Allah Mahahidup dan tidak akan mati," kata Abu Bakar.

Umar terduduk lemas mendengar apa yang disampaikan Abu Bakar. Rasulullah ﷺ telah wafat, pikirnya. Di saat Umar dilanda kekalutan, Abu Bakar membacakan firman Allah swt.

Muhammad hanyalah seorang rasul, sebelumnya telah berlalu beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (QS. Ali Imran 3: 144)

Umar bin Khaththab bertambah lemas. Tubuhnya berguncang. Tanah tempatnya duduk seakan bergoyang. Sesaat, ia seperti orang linglung. Dia segera keluar dari masjid, menjauhi kerumunan orang.

Umar ingin menyendiri. Di sebuah sudut Madinah, tanpa ada orang di sekelilingnya, Umar menangis dalam kesendirian. Air mata mengalir deras bak sungai di pipinya. Kini ia sadar, Rasulullah ﷺ telah wafat. (HR. Bukhari)


Rasulullah ﷺ Dimandikan

Jasad Rasulullah ﷺ terbujur kaku di pojok kamar berselimut kain. Aisyah masih duduk di sudut ruang. la tertunduk lemah, tak berdaya.

Sementara, para istri Nabi ﷺ menangis. Mereka telah kehilangan sosok suami yang begitu lembut dan penuh kasih sayang. Hati mereka remuk redam. Kedukaan menyengat.

Matahari telah tergelincir. Kegelapan menyelimuti Madinah. Malam merambat, langit duka memayungi pelosok kota. Tak terasa pagi menjelang. Hari itu, jasad Nabi ﷺ harus dimandikan. Para sahabar bergegas menuju jasad beliau dibaringkan.

Pemandian jenazah dimulai. Mereka yang beruntung memandikan jasad Nabi ﷺ adalah Abbas, Ali. Fadhl dan Qatsam (kedua anak Abbas), Syajran (pembantu Rasulullah ﷺ), Usamah bin Zaid, dan Aus bin Khaili.

Abbas, Fadhl, dan Qatsam bertugas membalik-balikkan jasad Rasulullah ﷺ

Syaqran mengguyurkan air

Ali membersihkannya dan Aus mendekap jasad di dadanya. (Ibnu Majah)

Kain yang membungkus jasad Rasulullah ﷺ tak dibuka. Air mulai membasahi tubuh Nabi ﷺ. Kulitnya tampak bersih. Giginya berjajar rapi, putih berseri. Aroma harum keluar dari mulutnya.

Ali tampak sibuk memijat perut Rasulullah ﷺ. Perut Nabi ﷺ terus dipijat dengan kedua tangan Ali yang kekar untuk mengeluarkan kotoran-kotoran.

Namun hingga pijatan terakhir, Ali tak menemukan satu pun kotoran keluar dari dalam perut Nabi ﷺ. Yang rercium hanya bau harum.

Jasad Nabi ﷺ terus dibersihkan. Air tak berhenti mengguyur tubuhnya. Fadhl tak kalah sibuk dengan Ali.

la bertugas membalik-balikkan jasad Rasulullah ﷺ, Punggung Nabi ﷺ dipenuhi bekas pelepah pohon kurma yang menjadi alas tidurnya.

Sementara Ali menggosok badan Nabi ﷺ, seusai memijat. Dan air terus disiramkan ke tubuh yang sudah tak bernyawa itu.

Tiga kali Rasulullah ﷺ dimandikan dengan menggunakan daun bidara, sedangkan airnya berasal dari sumur yang disebut al-Gharas milik Sa'ad bin Khaitsamah di Quba'.

Semasa hidupnya, Rasulullah ﷺ minum air dari sumur ini. (Thabaqat Ilbnu Sa'ad).

Jasad Nabi ﷺ selesai dimandikan. Air yang membasahi badan Rasulullah ﷺ dikeringkan. Para sahabat mengambil tiga lembar kain putih, jain itu terbuat dari katun, halus terasa di kulit. Mereka membungkus Nabi ﷺ dengan kain tersebut.

Gerakan mereka terlihat hari-hati, seolah khawatir tubuh Nabi ﷺ terluka. Satu per satu kain tersebut menyelubungi jasad Rasulullah ﷺ, hingga sampai pada kain terakhir. Tertutup sudah tubuh yang terbujur kaku itu.

Tak terlihat lagi tangannya yang kekar, matanya yang bening dengan sorot yang teduh, mulutnya yang selalu mengeluarkan kata-kata lembut, bibirnya yang tak pernah lelah menyunggingkan senyum, dadanya yang bidang yang ditumbuhi bulu-bulu halus, dan kakinya yang selalu melangkah untuk menegakkan kalimat Allah.

Semuanya tinggal kenangan.

Jasad Rasulullah ﷺ yang kini telah terbungkus kain putih kemudian diangkat oleh para sahabat untuk dishalatkan. Nabi ﷺ diletakkan di atas tempat tidur.

Rumah Aisyah disesaki kaum Muslim yang ingin menshalatkan Rasulullah ﷺ. Rumah kecil itu bertambah sesak saat beberapa rombongan Muhajirin dan Anshar datang.

Shalat jenazah dilakukan secara bergantian. Masing-masing kelompok 10 orang, tanpa seorang pun yang menjadi imam.

Giliran pertama kali yang menshalati adalah keluarga Nabi, disusul orang-orang Muhajirin, lalu Anshar. Setelah kaum laki-laki, giliran kaum wanita yang menshalati, kemudian disusul anak-anak. (Muwashtha Malik, Kitab al-Janaiz).

Malam tiba. Jenazah Rasulullah ﷺ harus segera dikuburkan. Atas saran Abu Bakar, Rasulullah ﷺ dimakamkan di tempat beliau meninggal, Keputusan Abu Bakar itu berdasarkan perkataan Rasulullah ﷺ pada suatu kesempatan.

"Tidaklah seorang Nabi diambil nyawanya kecuali di tempat itu pula ia dimakamkan." (HR Tirmidz, Ibnu Majah, Abu Ya'la, dan Baihaqi).

Diangkatlah tempat tidur Nabi ﷺ. Tanah di bawahnya digali untuk liang lahat, tempat persemayaman terakhir Rasulullah ﷺ. Jasad Nabi ﷺ diangkat menuju liang kubur.

Mereka yang memasukkan jenazah ke liang lahad adalah Ali bin Abi Thalib, Fadhl bin Abbas, dan Qatsam bin Abbas, Air mata menetes melantunkan kidung duka dari orang-orang yang menyaksikan saat-saat terakhir Rasulullah ﷺ di dunia, Kaum Muslim menangis.

Mata mereka tak lepas menatap jasad Rasulullah ﷺ diturunkan ke lubang kubur. Duka mereka kian tak tertahankan saat lubang itu sedikit demi sedikit tertutup tanah.

Semakin lama tanah itu semakin banyak. Tubuh manusia mulia itu tak terlihat lagi.

Tangis kaum Muslim kian tak tertahankan. Hujan tangis tak terbendung. Duka menambah gelap langit malam di Madinah. Berakhir sudah kisah agung seorang anak manusia yang tak kenal lelah memperjuangkan Islam.

Sesosok manusia pilihan yang menghabiskan setiap detik kehidupannya untuk menyebarkan risalah Islam.

Para pelayat pulang ke rumah dengan diiringi angin duka. Malam terasa panjang bagi mereka karena mata tak mampu terpejam. Seakan terasa singkat masa-masa indah kebersamaan mereka dengan Rasulullah ﷺ.

Kami tak dapat melupakanmu. Kami akan terus mengenangmu. Kami akan selalu mengingatmu. Selamat jalan wahai rasulullah ﷺ. Selama jalan wahai Kekasih Allah. Kami rindu kepadamu.


Hikmah Rasulullah ﷺ Wafat

Mengapa Allah membuat Rasulullah ﷺ menderita menjelang akhir hayatnya? Bukankah Muhammad ﷺ adalah kekasih-Nya? Bukankah Rasulullah ﷺ adalah manusia pilihan nan suci? Namun mengapa proses kematiannya serupa dengan yang dialami manusia biasa?

  1. Beragam pertanyaan itu, mungkin tersimpan di benak kita. Mudah bagi Allah untuk membebaskan Rasul-Nya dari sakratulmaut dengan segala penderitaannya. Namun, hikmah Ilahi menghendaki bahwa ketentuan Allah ini berlaku bagi semua orang, betapapun luhur kedudukannya di sisi Allah, agar manusia hidup dalam suasana tauhid dan hakikatnya.
  2. Juga agar mereka mengetahui dengan baik bahwa segala yang ada di langit dan di bumi ini pasti akan datang kepada Yang Maha Pengasih sebagai hamba.
  3. Tidak ada seorang pun yang boleh menolak 'ubudiyyah, setelah Rasulullah ﷺ sendiri juga tunduk pada hukum dan ketentuan-Nya.
  4. Tidak boleh ada orang yang merasa tidak perlu memperbanyak mengingat kematian dan sakratulmaut, setelah kekasih Allah pun tidak dapat lolos dari keduanya.
  5. Kematian adalah sunnah kehidupan. Allah berfirman, "Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang pun manusia sebelum kamu (Muhammad), maka jika kamu mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan." (QS. al-Anbiya [21]: 34-35)
  6. Dan di dalam firman Allah lainnya, "Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula)." (OS, az-Zumar 39: 30)
  7. Apabila manusia menyadari akan realitas sakitnya Rasulullah ﷺ hingga akhirnya wafat, mereka pasti akan merasakan makna penghambaan dan pengesaan Alah. Sehingga, mereka akan tunduk patuh kepada Allah.
  8. Manusia akan mempersiapkan diri menyongsong kematian dengan giat melakukan amal saleh, taat beribadah, dan lain sebagainya. Tak akan ada manusia yang melewatkan waktunya sedetik pun untuk beribadah kepada Allah jika kesadaran akan tibanya kematian telah betul-betul merasuk ke dalam jiwanya.
  9. Kejadian saat Rasulullah ﷺ meminta Abu Bakar untuk menjadi imam shalat bagi kaum Muslim dapat dijadikan sebagai sarana untuk menerangkan keutamaan Abu Bakar ash-Shiddiq daripada sahabat- sahabat lainnya.

Baca Juga: Kisah Perang Badar Terlengkap


Penulis&Artikel:faktaislam.com

Ref: DR.Ahmad Hatta, MA. dkk.

Kol: MagfiraPustaka

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar